Perang Jamal
Perang
Jamal atau Perang Unta
berlaku pada 11 Jamadilakhir 36H atau Disember 657M
yang mengambil masa tidak sampai sehari. Kemenangan berpihak kepada Khalifah Ali. Peperangan tersebut berlaku Ali
menggantikan semua pegawai kerajaan yang merupakan keluarga Uthman
bin Affan iaitu Bani Umaiyyah kepada mereka yang cekap dan adil. Ali
yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang diskriminatif
dan memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya diberikan
kepada orang-orang Muhajirin dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul
mal. Disamping itu, pihak keluarga Bani
Umaiyyah menggunakan alasan kemangkatan Khalifah Uthman sebagai alasan
untuk menentang pemerintahan Ali.
Hal
tersebut mendapat tentangan dari orang yang selama bertahun-tahun menikmati
keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian
meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan
untuk melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil mngumpulkan pasukan
yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Mendengar
adanya pemberontakan itu, Ali turut mengerahkan pasukannya. Kedua pasukan
saling berhadapan. Ali terus berusaha membujuk Thalhah dan Zubair agar
mengurungkan rencana berperang. Beliau mengingatkan keduanya akan hari-hari
manis saat bersama Rasulullah S.A.W dan berperang melawan pasukan
kafir.
Walaupun
ada riwayat yang menyebutkan bahawa imbauan Ali itu tidak berhasil menyedarkan
kedua sahabat Nabi itu, tetapi sebahagian sejarawan menceritakan bahawa ketika
Thalhah dan Zubair mendengar teguran Ali, bergegas meninggalkan medan perang.
Perang
tak dapat dihindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya kerana
ketidakpuasan hati sebahagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Ali.
Pasukan Ali berhasil mengalahkan pasukan yang dikepalai Aisyah, yang ketika itu
menunggang unta. Perang Jamal atau Perang Unta berakhir setelah unta yang
dinaiki oleh Aisyah tertusuk tombak dan jatuh terkapar.
Sebagai
khalifah yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang
untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan
dikawal oleh sepasukan wanita bersenjata lengkap. Fitnah pertama yang terjadi
pada masa kekhalifahan Ali berjaya dipadamkan. Namun masih ada
kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah
SAW disebut sebagai poros kebenaran.
Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindarkan lagi namun Imam
Ali r.a. masih tetap berusaha utk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama
muslimin. Ia teringat kenangan lama yg indah ketika bersama Thalhah dan Zubair
berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.
Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dgn dua tokoh bekas sahabatnya yg saat
itu telah mengangkat senjata utk menentangnya. Pada pertemuan muka dgn Thalhah
Imam Ali r.a. berkata: “Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu sendiri
di rumahmu tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul Allah
s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?”
Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak
bisa menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala utk kemudian
pelan-pelan menarik diri dari barisan yg dipimpinnya.
Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan
meninggalkan medan
pertempuran segera mengikuti sambil berkata: “Demi Allah aku tak akan
melepaskan tekadku utk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia
lolos. Akan kubunuh dia krn dia juga turut membunuh Utsman!”
Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika
anak panah itu lepas dari busurnya lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah
salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yg dilepaskan oleh
anggota pasukannya sendiri.
Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dgn Zubair ia
bertanya: “Hai Abdullah apakah yg mendorongmu sampai datang ke tempat ini?”
“Untuk menuntut balas atas kematian Utsman” jawab Zubair dgn terus terang.
“Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?” tanya Imam Ali r.a. menanggapi
jawaban Zubair tadi. “Allah mengutuk orang yg membunuhnya! Hai Zubair engkau
kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. waktu
itu beliau bertopang pada tanganmu melewati aku kemudian beliau tersenyum
padaku lalu menoleh kepadamu sambil berkata: “Hai Zubair engkau kelak akan
memerangi Ali secara dzalim!”
“Oh ya” jawab Zubair setelah beberapa saat mengingat-ingat.
“Mengapa engkau sekarang memerangi aku?” tanya Imam Ali r.a. pula.
“Demi Allah” sahut Zubair “aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan
keluar utk memerangimu.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan
pasukan dgn air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota
pasukan Imam Ali yg bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari
pasukannya segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Perang Unta atau Waq’atul Jamal antara sesama kaum muslimin sudah tak dapat
dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq’atul Jamal Al-Madainiy dan
Al-Waqidiy antara lain mengatakan bahwa dua pasukan saling berhadapan pasukan
Thalhah dan penduduk Bashrah terus menerus dibakar semangatnya dgn syair-syair
agitasi. Mereka dikerahkan utk mengarungi pertempuran sengit melawan Imam Ali
r.a. dan pasukannya.
Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit muncul Auf bin Qhatan
Adh Dhabiy. Ia berteriak: “Tidak ada fihak yg harus dituntut atas kematian
Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!” Sejalan dgn itu ia menarik
tali kekang unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:
Hai ibu… hai ibu tanah air telah lepas dariku
Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan
Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan
Jika Ali lepas dari tangan matilah aku
Atau jika dua anaknya Hasan dan Husein lepas..
Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!
Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya
menjatuhkan korban di fihak lawan ia sendiri sudah tersungkur terbelah
setengah badan dan menggelepar bergumul dgn pasir. Tali kekang yg lepas dari
tangannya segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yg
benar-benar berani bertempur sampai mati ia pasti maju mendekati unta Sitti
Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah
bin Abza tampil menghunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a.
Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :
Mereka kuserang tetapi tak kulihat ayah si Hasan
Aduhai..itu merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar tantangan Abdullah bin Abza Imam Ali r.a. segera keluar dari
barisan utk melakukan serangan dgn tombak. Beberapa saat perang tanding
berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal
menyentuh tubuh Imam Ali r.a. tiba-tiba ujung tombak yg runcing mengkilat sudah
menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa
detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir Imam Ali r.a. menghampirinya
sambil bertanya: “Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau
lihat dia?” Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.
Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat mengadu senjata banyak
kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya Sitti Aisyah r.a.
turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil lalu dicampakkan kepada
pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: “Hancurlah muka kalian!” Hal
semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a. meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w.
dalam perang Hunain.(1)
Melihat peperangan semakin dahsyat bersama regu pasukan yg mengenakan serban
hijau terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar Imam Ali r.a. maju memimpin
serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan Al Husein dan Muhammad
Al Hanafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan Imam Ali r.a. bermaksud
hendak menguji ketangguhan puteranya yg bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil
menyerahkan panji pasukan Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: “Majulah
dgn panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan berhenti di
tempat lain!”
Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah ia sudah dihujani
anak-panah yg beterbangan dari arah lawan. Melihat itu ia memerintahkan regunya
supaya berhenti sejenak: “Tunggu dulu sampai mereka kehabisan anak-panah!”
Mengetahui hal itu Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati
puteranya. Kepada orang yg disuruhnya itu dipesan agar mendorong Muhammad Al
Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena
gerak Muhammad lamban Imam Ali menghampirinya sendiri dari belakang. Sambil
menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya Ia membentak: “Hayo maju!”
Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus namun Muhammad Al Hanafiyah
masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah Imam Ali r.a. merasa kasihan.
Kemudian panji yg di tangan puteranya diambil kembali dgn tangan kiri sedang
pedang yg terkenal dgn nama “Dzul Fiqar” terhunus di tangan kanannya. Tanpa
membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan “Jamal”.
Setelah melakukan serangan beberapa saat lamanya menangkis dan memukul musuh
Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya
berkerumun.
“Ya Amirul Mukminin” desak Al Asytar “cukuplah kami saja yg melaksanakan
tugas itu!”
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Menoleh saja pun
tidak darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yg ada
di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yg berapi-api tetap mengarah ke
pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada
puteranya Muhammad A1 Hanafiyah.
Segera ia maju lagi menyerang musuh utk kedua kalinya. Dengan gagah berani
Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dgn gesit dan
cekatan. Anggota-anggota pasukan Thalhah yg menjadi sasaran serangannya lari
terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yg mati terbunuh di ujung pedangnya.
Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua Imam Ali
r.a. kembali lagi ke induk pasukan.
“Kalau anda sampai gugur” puji sahabatnya setelah Imam Ali r.a. berada di
tengah barisannya “barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah cukup kami
saja yg menyerang dan bertempur!”
“Demi Allah” jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. “Aku
sangat tidak setuju dgn fikiran kalian.
Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!”
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: “Seperti akulah
seharusnya engkau berbuat!”
Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu.
Dari orang-orang yg berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura
bergumam: “Siapa orangnya yg sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!”
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran unta yg di kendarai Sitti Aisyah
r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua
belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta
sampai meringkik-ringkik keras sekali krn tali kekangnya ditarik ke sana ke
mari.
Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang utk lbh mendekat kepada unta.
Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terhambat tumpukan manusia yg berada di
sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yg mati penggantinya datang berlipat
ganda.
Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Celakalah
kalian! Tembak saja unta itu dgn panah! Bantailah unta celaka itu!”
Unta yg dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi
tak sebuah pun anak-panah yg menembus krn di sekujur badannya dipasang tijfaf.
Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor
landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: “Hai penuntut balas darah Utsman!”
Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya
menjadi semboyan yg diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dgn semboyan: “Hai Muhammad!”
Nama putera Imam Ali r.a. yg memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a.
segera mengikuti semboyan yg diserukan Imam Ali r.a.
Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.
Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yg
diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan
pasukannya sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yg
terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka
samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yg
makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yg
ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad pasukan Imam Ali r.a. baru
akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah melewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yg diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat
sekali. Nyawa sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh
fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di
sekitar unta yg besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yg luka dan
mati. Padang pasir yg kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat
hidung.
Melihat keadaan yg mengerikan itu Imam Ali r.a. mengambil suatu keputusan
cepat utk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada
Al Asytar dan Ammar. Kepada kedua orang sahabatnya itu Imam Ali r.a. memerintahkan:
“Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai apinya masih berkobar. Unta
itulah yg dijadikan semacam kiblat oleh mereka!”
Dua orang yg diperintah itu segera maju bersama beberapa orang lainnya dari
Bani Murad. Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah. Bersama Umar
binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta lalu ponok dekat lehernya dipukul
dengan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta meringkik keras-keras
dan akhirnya rebah.
Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari
menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Potong tali
pengikat Haudaj!”
Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu gakar Ash Shiddiq :
“Ambillah saudara perempuanmu!” Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad
bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al
Khuza’iy.
Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Abbas supaya menemui
Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini
Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu utk duduk. Kuambil
saja sebuah bantal yg dibawa olehnya selama perjalanan lalu duduk di atasnya.
Kepadaku ia berkata: “Hai Ibnu Abbas engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau
berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!”
“Ini bukan rumah bunda” jawabku “bukan rumah yg oleh Allah bunda
diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda aku tidak
berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!”
“Melalui aku” kataku meneruskan “Amirul Mukminin minta supaya bunda
berangkat pulang ke Madinah.”
Tiba-tiba ia menyahut: “Mana ada Amirul Mukminin?”
“Dulu memang Abu Bakar” jawabku dgn sabar dan hormat “kemudian Umar lalu
Utsman dan sekarang Ali!”
“Tidak aku tidak mau!” sahut Sitti Aisyah.
“Bunda sekarang bukan lagi orang yg dapat memerintah atau melarang” kataku
terpaksa menegaskan “Tidak bisa mengambil dan tidak bisa memberi.”
Sitti Aisyah kemudian menangis sampai suaranya kedengaran dari luar rumah.
Lalu ia berkata: “Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku insyaa Allah
Ta’aalaa. Demi Allah tidak ada suatu negeri yg kubenci seperti negeri di mana
kalian berada sekarang ini.”
“Mengapa begitu?” tanyaku. “Demi Allah kami tetap memandang bunda sebagai
Ummul Mukminin. Kami tetap memandang ayahnya bunda Abu Bakar sebagai seorang
shiddiq.”
Sehabis pertemuan dgn Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin.
Kepadanya kulaporkan semua yg kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yg
dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu Amirul Mukminin merasa lega.
Menanggapi laporanku ia berucap: “Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan
memberi jawaban jawaban seperti itu.”
Sudah lazim terjadi tiap kelompok masyarakat atau pasukan ssusai menghadapi
peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a.
Ada yg menuntut agar semua orang yg terlibat dalam pasukan lawan yg sudah kalah
itu dijadikan tawanan diperlakukan sebagai budak dan dibagi-bagikan.
Menjawab tuntutan ekstrim itu dgn tegas Imam Ali r.a. mengatakan: “Tidak!”
“Mengapa anda melarang kami?” tanya fihak ekstrim itu “untuk menjadikan
mereka sebagai hamba-hamba sahaya padahal anda dalam peperangan menghalalkan
darah mereka?!”
“Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu” ujar Imam Ali r.a. menjelaskan.
“Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya lagi pula mereka itu berada di dalam
daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti
kalian? Adapun tentang apa saja yg dipergunakan pasukan musuh utk melawan
kalian boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yg berada di
dalam rumah penduduk Bahsrah apalagi yg pintunya tertutup rapat semua itu adl
milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!”
Anasir-anasir ekstrim tidak puas dgn penjelasan itu. Mereka tetap
bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya.
Malahan berani mengucapkan kata-kata yg bernada menggertak. Tetapi Imam Ali
r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yg batil. Dengan muka merah padam dan mata
membelalak Imam Ali r.a. menjawab dgn tantangan: “Coba siapa dari kalian yg
berani merampas Sitti Aisyah…? Coba siapa yg berani merampas dia dan berani
menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh jawab… Dia akan kuserahkan!”
Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yg sekeras itu mereka mundur sambil minta
maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.
Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti
Aisyah r.a. Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan
yg baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat
terjadinya pertempuran. Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. keluar
utk membuktikannya sendiri dgn hati tersayat-sayat sedih.
Benar bahwa pada akhir masa hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan
tetapi bagaimana pun juga ia adl sahabat Rasul Allah s.a.w. dan termasuk
pejuang yg gigih menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yg lain. Tidak
jarang di masa lalu Imam Ali r.a. berjuang bahu-membahu dalam berbagai peperangan
melawan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yg tidak
mengenal peri-kemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yg sangat tinggi. Oleh
krn itu tidak sukar baginya menilai seseorang dgn ukuran yg obyektif. Thalhah
memang dipandang telah berbuat salah tetapi kesalahannya tidak menghilangkan
kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin.
Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yg hidup
penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a. tidak mempunyai kepentingan
pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan
Allah sajalah yg didambakan sepanjang hidupnya.
Setibanya di depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah ia menundukkan kepala.
Kemudian jongkok utk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah.
Imam Ali r.a. tidak sanggup membendung derasnya linangan airmata dan
menangislah ia tersedu-sedu. Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat
kedua belah tangan memohonkan pengampunan kepada Allah s.w.t. bagi Thalhah bagi
dirinya sendiri dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa Imam Ali r.a.
memerintahkan beberapa orang sahabat supaya membenahi jenazah Thalhah dgn sebaik-baiknya.
Kembali ke tempat kediamannya
Perang Unta atau Perang Jamal telah selesai. Tibalah saat yg tepat utk
segera mengembalikan Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. ke Madinah. Untuk
keperluan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan segala sesuatu yg dipandang perlu
guna menjamin keamanan dan keselamatan Ummul Mukminin selama dalam perjalanan
pulang.
Persiapan dilakukan dgn sebaik-baiknya krn ia mengetahui bahwa di kalangan
pasukannya terdapat anasir-anaisr ekstrim yg jika tidak diadakan
tindakan-tindakan pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Sitti
Aisyah r.a. Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan dilindungi.
Tak mungkin Ummul Mukminin dilepas seorang diri menempuh perjalanan jarak
jauh di tengah padang pasir belantara. Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yg
harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan dapat diserahi tugas pengawalan Ummul
Mukminin? Tentu saja dapat. Tetapi kemungkinan resikonya pun ada. Lebih-lebih
mengingat Ummul MuKminin itu baru saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin.
Setelah ia gagal dan keluar dari peperangan sebagai fihak yg kalah kemudian
dipulangkan ke Madinah dgn pengawalan pasukan yg baru saja berhenti
memusuhinya kemungkinan apakah yg bisa terjadi di tengah perjalanan?
Sebagai seorang pemimpin yg sudah biasa berkecimpung dalam peperangan
menghadapi tipu muslihat musuh Imam Ali r.a. tidak kehilangan akal. Sejumlah
wanita dari Bani Qies diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yg
harus dilakukan dalam melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaannya utk
bertindak
sebagai regu pengawal Ummul Mukminin.
Imam Ali r.a. juga mengerti bahwa krn mereka itu semuanya wanita mungkin
tidak akan disegani atau ditakuti oleh orang-orang yg hendak berbuat jahat di
perjalanan. Agar tidak sampai dipandang “remeh” oleh orang lain mereka harus
berpakaian sebagai pria. Lengkap dgn jubah dan serban serta pedang tersandang
di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti pria selama
dalam perjalanan.
Selain wanita-wanita yg bertugas itu sendiri seorang pun tidak boleh
mengetahui rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dgn ketat.
Setelah semua persiapan selesai di bawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin
diberangkatkan pulang ke Madinah. Selama dalam perjalanan Sitti Aisyah r.a. yg
berada di dalam haudaj sama sekali tidak mengetahui bahwa para pengawalnya
terdiri dari kaum wanita. Segala yg diperlukan selama perjalanan sudah disediakan
dalam haudaj sehingga Sitti Aisyah r.a. tidak perlu turun utk suatu keperluan.
Begitu juga “para prajurit” tak seorang pun dari mereka yg berhadapan muka dgn
Sitti Aisyah r:a. dan tak seorang pun yg bercakap-cakap dgn suara yg bisa di
dengar dari haudaj. Semuanya diatur sedemikian rapi dan sempurna.
Sepanjang perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut krn dikiranya Imam Ali
r.a. mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah
itu tidak sesuai dengan tatakrama yg semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus
bersungut-sungut krn tidak menduga sama sekali bahwa rombongan pengawal yg
tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!
Baru setelah tiba di Madinah yaitu setelah Ummul Mukminin turun dari haudaj
ia melihat sendiri semua prajurit pengawalnya menanggalkan jubah sorban dan
sabuk gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan mengapa semuanya itu tidak
diketahui padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menanggalkan pakaian pria
“prajurit-prajurit” itu terkekeh-kekeh dan berkata kepada Ummul Mukminin:
“Lihatlah kami ini semuanya wanita!”
Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a kini telah kembali ke tempat kediaman
semula dgn penuh kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya ia tidak lagi
melibatkan diri dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yg masih
panjang itu dipergunakan sebaik-baiknya utk menekuni kehidupan taqwa kepada
Allah s.w.t. dan patuh kepada pesan-pesan suaminya Nabi Muhammad s.a.w.
Sebuah Penilaian
Seusai Perang Unta Imam Ali r.a. bersama pasukannya menuju ke sebuah dusun
di Bashrah Dzi-qar. Di dusun itu dulu pernah terjadi pertempuran seru antara
pasukan muslimin melawan pasukan Persia.
Abu Minhaf menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan sahabat Imam Ali r.a. yg
menyaksikan dan mendengarkan sendiri apa yg dikatakan olehnya dalam khutbah yg
diucapkan di dusun Dzi-qar sehabis perang Unta.
Dengan serban berwarna hitam terlilit di sekitar kepala kata Zaid bin Shuhan
Imam Ali r.a. mengucapkan sebuah Khutbah yg berisi penilaian tentang Perang
Unta.
“Alhamdulillah dalam segala hal dan segala keadaan sepanjang hari dan
sepanjang malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adl Rasul Allah serta hamba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap
manusia hamba Allah. Pada saat bumi ini penuh dgn fitnah goyah ikatan
peraturan penghuninya di mana setan-setan disembah dan dipuja iblis musuh
Allah menyelinap ke dalam aqidah semua penduduk.”
“Pada saat seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib s.a.w.
memadamkan kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu
Allah s.w.t. mencabut tongak-tonggak penghalang dan menegakkan semua yg miring
serba bengkok. Beliau s.a.w. adl pembimbing ke jalan hidayat seorang Nabi
pilihan Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yg telah diperintahkan Allah
kepadanya dan telah pula menyampaikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia.
Dengan Rasul-Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yg rusak mengamankan semua
jalan menuju ke arah kebenaran memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua
orang yg dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.”
“Setelah semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yg benar Allah s.a.w.
memanggil beliau s.a.w. kembali ke sisi-Nya dalam keadaan beliau selalu
bersyukur. Sepeninggal beliau s.a.w. kaum muslimin membai’at Abu Bakar Ash
Shiddiq sebagai Khalifah. Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga.
Setelah wafat ia diganti oleh Umar. Umar pun telah bekerja dgn sepenuh tenaga.
Setelah wafat kaum muslimin menggantinya dengan membai’at Utsman sebagai
Khalifah. Ia telah mendapatkan sesuatu dari kalian dan kalian pun telah
memperoleh sesuatu dari dia sampai akhirnya terjadi apa yg telah terjadi.”
“Kemudian sesudah itu kalian datang kepadaku untuk. menyatakan bai’at
padahal aku sama sekali tidak pernah membutuhkan hal itu. Waktu itu kalian
kutinggal masuk ke dalam rumah tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku
menahan tangan tetapi kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebutkan
tanganku sampai kukira kalian akan membunuhku atau hendak saling bunuh di
antara kalian sendiri. Namun ternyata kalian membai’at diriku sedang aku
sendiri tidak merasa senang atau gembira.”
“Allah s.w.t. mengetahui bahwa aku tidak suka memimpin pemerintahan atau
memegang kekuasaan di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar
sendiri beliau s.a.w. pernah menyatakan: “Tidak ada seorang penguasa pun yg
memerintah ummatku yg kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyatnya utk
diperlihatkan catatan-catatan tentang perbuatannya. Jika ia seorang yg berlaku
adil akan selamatlah. Tetapi jika ia seorang yg berlaku dzalim akan
tergelincirlah ke dalam neraka.”
“Kalian bersama orang banyak membai’atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair.
Dua orang itu pun menyatakan bai’atnya masing-masing kepadaku. Waktu itu
kulihat ada tanda-tanda lain yg memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata
mereka. Tak lama kemudian dua orang itu minta izin kepadaku utk melakukan
umrah. Mereka berdua kuberitahukan terus terang bahwa sebenarnya mereka itu
tidak berniat melakukan umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara
diam-diam menghubungi Sitti Aisyah. Bersama orang lain yg mau mengikuti kedua
orang itu Sitti Aisyah dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang
Makkah yg baru memeluk Islam setelah kota Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah
s.a.w. dari kekuasaan kaum musyrikin.”
“Kemudian mereka semua berangkat menuju Bashrah. Disanalah mereka melakukan
perbuatan tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu.
Dulu mereka bersikap loyal kepada Abu Bakar dan Umar tetapi kepadaku mereka
bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mereka tahu benar bahwa aku ini
tidak kurang dibanding dgn Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau tentu hal itu sudah
kukatakan sejak dulu.”
“Yang pasti ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah menulis surat kepada dua orang
tersebut dari Syam utk berusaha membujuk. Dua orang itu merahasiakan surat Muawiyah terhadapku
lalu keluarlah mereka mengelabui orang banyak dgn alasan seolah-olah dua orang
itu hendak menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah dua
orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa aku ini memang tidak
melakukan perbuatan yg sangat tercela seperti itu. Tetapi dua orang itu tidak
mau bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pembunuh Utsman.”
“Sebenarnya dua orang itulah yg langsung terlibat dalam penumpahan darah
Utsman dan dua orang itulah yg seharusnya dimintai pertanggunganjawab. Alangkah
kosongnya tuduhan mereka itu! Demi Allah dua orang itu benar-benar sesat dan
tidak dapat mendengar tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya
setan-setan sajalah yg telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di
belakang dua orang itu utk mengembalikan kedzaliman kepada tempatnya dan
mengembalikan kebatilan kepada asal mulanya.”
(1)Ibnu Abil-Hadid: Syarh Nahjil-Balaghah VI/224-229 dan Lubabun-nuqul Fi
Asbabin-nuzul: Imam Jalaluddin Assayuthi
Wassalam
Armansyah
Copyright
sumber : file chm kajian islam
Perang Siffin
Perang Shiffin (Arab وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau
perang saudara pertama orang Islam
dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib
di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam).
1 Shafar tahun 37
Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali bin
Abi Thalib melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah
Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali bin Abi Thalib dan
mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur
di Damaskus,
menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata.
Awalnya, Imam Ali bin Abi Thalib berusaha melakukan perundingan demi mencegah
pertumpahan darah di antara sesama muslim.
Namun, Muawiyah tetap membangkang dan pecahlah perang di sebuah daerah bernama
Shiffin di tepi sungai Furat, Irak.
Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amru bin Ash
memerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Quran
di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Quran. Imam Ali bin
Abi Thalib yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus
bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal
sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang
dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini,
delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin
direbut dari tangan Imam Ali bin Abi Thalib dan jatuh ke tangan Muawiyah
Perang ini terjadi
setelah Muhammad
meninggal dan Ali bin Abi Thalib menjabat kekhalifahan dan memaksa Abu Sufyan
untuk mengakui kekhalifahannya, dan perang ini terjadi di bukit Shiffin. Ali
bin Abi Thalib berhadapan dengan Amru bin Ash dan Ali bin Abi Thalib berhasil
menjatuhkan dan melemparkan pedang Amru bin Ash, namun Amru yang menyadari
kekalahan dan kematiannya, Amru dengan nekad membuka celananya, sehingga Ali bin
Abi Thalib yang akan menghujamkan pedang kearah Amaru dan melihat perbuatan
Amru, Ali bin Abi Thalib segera memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amru yang
telanjang. Sehingga Amru dengan perbuatan memalukannya itu selamat dari tebasan
pedang Ali dan Zulfiqar dan juga selamat dari kematian.
Dalam sejarah kehidupan
manusia-manusia besar tidak ada yang mampu menyamai sifat kesatriaan Ali bin
Abi Thalib, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan walaupun dalam medan
pertempuran dan ia adalah manusia yang tidak pernah mengambil keuntungan dari kelemahan
lawannya walaupun hal itu bisa membawanya dalam kemenangan dan Ali bin Abi
Thalib adalah manusia yang dalam medan perang tidak pernah menempatkan ego atau
hasratnya untuk membunuh lawannya, namun dikarenakan Allah dan nabinya ia
mempersembahkan kematian lawannya sebagai hujjah atau bukti pembangkangan
lawannya terhadap ke-Esa-an Allah dan kenabian Muhammad.
Referensi
- (Inggris) The Battle of Islam at Siffin
- (Inggris) playandlearn.org
- (Inggris) academyofislam.org
- (Inggris) Al-islam.org [1]
- (Inggris) i-cias.com
- (Inggris) IslamiCity.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar