Keluarga Rasulullah
صلى ا لله عليه وسلم
Istri- istri Nabi زوجات النبي - Khadijah binti Khuwailid (wafat 3 SH)
- Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 SH)
- Aisyah binti Abu Bakar (wafat 57 H)
- Hafsah binti Umar (wafat 45 H)
- Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H)
- Maimunah binti Harits (wafat 50 H)
- Mariah Qibtiah (wafat 16 H)
- Saudah binti Zam`ah (wafat 23 H/ 643 M)
- Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H)
- Ummu Habibah binti Abu Sofyan (wafat 44 H)
- Ummu Salamah (wafat 57 H)
- Zainab binti Jahsy (wafat 20 H)
- Al- Qasim bin Muhammad
- Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.)
- Ruqayyah binti Muhammad (wafat 2 H)
- Ummu Kultsum (wafat 9 H)
- Fatimah Az-Zahra (wafat 11 H)
- Abdullah bin Muhammad (meninggal ketika kecil)
- Ibrahim bin Muhammad (wafat 10 H ketika kecil)
- Abdullah bin Usman bin Affan (Putra Ruqayyah)
- Ali bin Abul Ash (Putra Zainab.meninggal ketika kecil.)
- Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H.)
- Husain bin Ali bin Abu Talib (4-61 H)
- Zainal Abidin (wafat 93H)
- Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib (wafat.75H)
- Abbas bin Abdul Mutalib (wafat 32 H)
- Abu Thalib bin Abdul Muthalib (wafat 3 SH)
- Hamzah bin Abdul Mutalib (wafat 3 H)
Khadijah binti Khuwaild (wafat 3H)
Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana
sabda Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran
dan Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya
tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi wanita pertama yang menjadi
Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal
jihad pcnyebaran agarna Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah
adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari
keluarga terhormat pada lima
belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisv yang ingin
mempersuntingnya. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali
menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan
meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan
berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum,
yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian,
Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy.
A. Wanita Suci
Sayyidah
Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu
Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan sifat terpujinya. Karena
itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa
penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan
yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi,
Khadijah merasa tidak mungkin jika sernua dilakukan tanpa bantuan orang lain.
Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan bepergian
membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim
panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa
karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan dagangannya. Untuk itu, para
karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan
kecemer1angan pikiran yang didukung oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerja
sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak berbisnis. Itulah
yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang.
B.
Pemuda yang Jujur
Khadijah
memiliki seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah.
Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani
melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring
dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan.
Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah
sia-sia.
C. Pemuda Pemegang Amanah
Kaum
Quraisy tidak mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain
Muhammad bin Abdullah, yang sejak usia lima
belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Seperti
biasanya, Maisarah menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah,
karena memang keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Perniagaan mereka
ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali
membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan
yang mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran.
Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan
Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa
mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari.
Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa
Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh
orang Arab sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita
tentang Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah
pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa
menerangi wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan
terhadap Muhammad di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak
pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang-
orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang
dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah
terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan
Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah
untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta
menikahi dirinya.
Ketika
itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan
keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin
menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan
salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru
bin As’ad untuk meminang Khadijah.
D. Istri Pertama Rasulullah
Allah
menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia
Muhammad baru menginjak dua puluh lima
tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun. Walaupun usia mereka terpaut
sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan mereka
bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah
memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah
adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia
rneninggal. Allah menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui
rahirn Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya
keturunan. Dia telah mernberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasuluflah
Shallallahu alaihi wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan
kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. mernperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang
tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan
pahitnya menjadi anak yatirn piatu dan miskin.
E.
Putra-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
Khadijah
melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang
anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra
dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah,
Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab
banyak rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak
bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa
pertama Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan
Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah.
Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah
az-Zahra, putri bungsu beliau rnasih kecil.
Selain
mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula,
Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya.
Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada
Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki
sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di
tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat
kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid
kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp
tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama
Rasulullah, schingga dan sinilah kita dapat mengetahuisifat mulia Zaid.
Agar
pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman
Ka’bah untuk mengummkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak.
Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa
banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum
pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal
itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
”
… jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)
F. Pada Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Muhammad
bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan
tenterarn di bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu orang-orang
Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di
antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di
hadapan mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira,
menghambakan din kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim
a.s.
Khadijah
sangat ik.hlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir
selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan
minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang
dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika
itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun.
Suatu
ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan
Ramadhan–. Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril
memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya
menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan
mendekap beliau ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika
itu Muhammad sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat
membaca.” Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata,
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan
perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.”
Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari
seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju
rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudian
memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran
yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau
meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada
Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa
tenteram dan aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa
dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi
atau khayalan beliau belaka.
D.
Pribadi yang Agung
Setelah
rasa takut beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun
menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita
suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya
hal-hal seperti itu.
Sejak
semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha
Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan
tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan
babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan
meyakini ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku
rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di
sinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran
Khadijah. Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum
pernah dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanrnu
Engkau selalu menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang
lain, menolong orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita
dan musibah orang lain.”
Setelah
Rasulullah merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi
anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah.
Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai
Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah
dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat
Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa
sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam
Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya
(Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan
oleh Waraqah.
H. Awal Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah
meyakini seruan suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan
kepada rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya
berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam
menyebarkan agama Allah.
Beberapa
waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
untuk membawa wahyu kedua dari Allah:
“Hai
orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan
Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb
(balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,
bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-7)
Ayat
di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada
kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang
menyatap kan
beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi
pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah
yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah
orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin
Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad.
Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman
bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqash, az-Zubair
ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk
menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di
pinggiran kota
Mekah.
I. Masa Berdakwah Terang-terangan
Setelah
berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah
untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke
tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada
Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak
dilahirkan.” Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang
Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan
yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang
mernenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan
tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi
kotoran hewan dan duri.
Khadijah
tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan.
Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata
jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang
Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian
dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga
tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada
muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah
lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang
yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza
bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta
istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan
pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun
begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin
Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah
kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang
di lehernya ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah
adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh
keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat
dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh
penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan
dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi
benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy,
sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum
Quraisy.
J. Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Setelah
berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum
Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis
deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy
memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya.
Mereka terisolasi di pinggiran kota
Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi,
komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam
kondisi seperti itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi
fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan
kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan
ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin
bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain,
sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk
mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi
tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah
bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah
gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin
kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. pun kembali menyeru
nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
K. Wafatnya Khadijah
Beberapa
hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini
bahwa sakit kali mi merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu,
Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar
menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan
tetapi, Abu Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan
pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu
Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul
Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu,
karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku
kehilangan engkau?
Pada
tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita
kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya
semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. semakin
sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membangun
kehidupan rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam
usia enam puluh lima
tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran
tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir
yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita
penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah
meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita
lain, Dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama
yang mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan
putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk
kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar
gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa
lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
‘Aisyah Binti Abu Bakar (Wafat 57 H)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah
tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan
luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang
banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah
sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi
yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika
wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah
istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat
Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril
datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah
yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan
membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
A. Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah
adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin
Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar
ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah.
Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika
terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut
riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain
mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin
Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam,
sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah
menganut Islam.”
Ummu
Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah.
Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza,
istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu
Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga
menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan
empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam
dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung
beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan
ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian
besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan
teman-temannya.
B. Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua
tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah . Setelah itu Rasulullah berkata kepada
Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat
mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini
adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku
berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.”
Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika
Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka
dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat,
sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di
Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya
Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan
badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal
itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang
mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi.
Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam
timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah
penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur
membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun
sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah
Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan
izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu
Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab
menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan
satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah.
Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar
Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
C. Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah
tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu
banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di
hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh
istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya
Rasulullah kepada Aisyah .”
Di
dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina
Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh
celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain
itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan
itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum
muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah
sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri
Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang
berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena
itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah.
Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong
mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita
juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’
Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan
hadiah kepada beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu
Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata,
“Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali
mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku
rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku,
sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku
selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut
bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun
perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka
tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah
wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau
cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu
waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang
paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari
kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di
antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan-
keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu
hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu
ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu
Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan
Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab
menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan
disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah
Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari
ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan
Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk
permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang
menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia
senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah.
Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk
beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini
Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di
pangkuanku.”
D. Fitnah Terhadapnya
Aisyah
pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya,
hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya
bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah
mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh
kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani
al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab.
Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali
ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran,
Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah
mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya,
dan kembali. Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar
dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap
berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah
berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke
pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan.
Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu
bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke
tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang
terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi
untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar,
yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika
tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan
meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah
keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat,
“Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain
dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga
terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat
dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat
adanya perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika
Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan
bersabda:
“Wahai
Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau
benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau
telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan
mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah
mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku
katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui
kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku
mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka
kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan
Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong
atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah
sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun
wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun
meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun
kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah
telah menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang
dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)
Demikianlah
kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan
keagungannya di hati Rasulullah.
E. Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada
hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan
Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan.
Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku
tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi
makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan
yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan
sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan
tempat dan makanan diganti dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pernah berkata:
“Halah
binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah.
Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah
meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang
atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’
Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek
kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan
masa. Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar
itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang lebib baik
darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku.
Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia telah mendermakan
harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak memberikan harta
mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang
lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Terdapat
beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik
khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan
kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu
seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu
akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan
iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu
berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau
menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui
Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir
berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali.
Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah
terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan
masalah tersebut hingga turunlah ayat:
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam
penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar
syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam
mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang
menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka
tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)
Aisyah
pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan
wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan
tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada
wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid
sebagaimana wanita Israel
dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di
dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui
Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat
kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang
tebal.
F. Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah
memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik
yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang
masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim
mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu
Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan
kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering
meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan
sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru
diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah
satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu Abu
Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang
siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia dilarang
berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab,
“Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau
meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia
lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak
berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru
untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa
membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah
hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah
adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan
turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini:
“Aku
pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin
sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi
beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika
menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana
ungkapannya ini:
“Aku
bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60).
Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan
pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang
berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima).
Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri)
kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah
berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma
tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah
termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi
wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari
para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu
Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu
meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan
menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak
pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para
sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung
memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika
berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta
penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara
laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan
Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah
dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan
hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu
Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah
Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui
bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu
ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang
bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab,
“Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul
sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh
karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid
Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata,
“Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau
adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.” Aisyah berkata, “Apa
yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri
Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui
hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang
menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada
seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis.
Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga
dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku
belajar.”
Tentang
penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku
belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain
Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga
saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang
lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh
kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu
Bakar:
“Allah
telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau
perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi,
untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya. Kalau
peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah
kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan menggantikan yang baik
selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas
atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami
hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan
rahmat Allah.”
Dari
Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi
Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya
terbersit kemarahan. Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah
melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya.”
G. Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya
Bagi
Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan
yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah
ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh
merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan
dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang
wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku
menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera
memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku
haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya
mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan
siwak, sernentara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan
kedua belab tangan dan mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha
illahu… setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada
Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan
beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau
meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh
ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar
berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan
tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar
berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.”
Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
H. Setelah Rasulullah Wafat
Setelah
Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat,
namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir
Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada
Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah
Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu
atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika
istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk
menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru
berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan
harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa
kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan
kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga
karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum
murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu
Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya
agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya,
dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi,
kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu
Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar
senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari
Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para
istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah
tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan
Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan
istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu
memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki
tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada
istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin
Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di
hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang
besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam.
sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau
akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal
itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat
sangat malu.”
Di
dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman
agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna.
Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan
mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar
engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah
engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika
Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas
atas kematiannya.
Berkaitan
dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri
yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan
terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman
Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu
tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi
orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali
dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas
ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah
tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah
menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama
Rasulullah.”
Setelah
Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits
dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang
Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun
Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat,
Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya,
“Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam
sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam.
bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah,
niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari
keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah
tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
I. Wafatnya Aisyah
Dalam
hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun,
bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’.
Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian
sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan
shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada
kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah
berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya
Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas,
beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah memiliki kebiasaan untuk
memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu
Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala
urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia
selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.”
Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak
berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad
berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika
itu sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah.
Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka
sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada
hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain
itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan
ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun
hanya dengan sebiji kurma.”
Di
dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa
dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa
pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma
itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern
udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh
anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi
penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan
kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus
ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah
membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging
untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau
katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku
lakukan hal itu untukmu.”
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Saudah binti Zam`ah (wafat 54 H)
Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan
istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang
mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut
berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah.
Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita
sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. menikahinya bukan
semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong
wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat jihadnya di
jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik,
keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
A. Dia adalah Seorang Janda
Telah
kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu
Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. tengah mengalami
rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk
rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan
dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif
atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk
masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak
mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka
melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah.
Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar
memperoleh hidayah.
Dalam
keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj.
Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq,
kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana
beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau
menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan
beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu
tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan
rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah
binti Zum’ah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian
dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat
beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah.
Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita yang pertama
masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai
wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai
tersendiri bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan
fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan
pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta
mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada
mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena
khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada
pendiriannya.
Kemudian
Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan
rnengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh
pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan
masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam
menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah
mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih
untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah
Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia
adalah Saudah binti Zum’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah,
yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan
Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalm. memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang.
Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu
duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta
menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Jika
kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang
berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan
tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan
gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati
suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang
kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung
kesulitan hidup.
B. Nasab dan Keislamannya
Saudah
binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin bin
Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada
Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan
berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin
Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan
Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama
kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani
Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui
istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang
dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami
ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
C. Hijrah ke Habbasyah
Keislaman
Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat
cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena
itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk
Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil
bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah
menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar
mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih
dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang
hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya
meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk
demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di
Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun
keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu
raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah
Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke
Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan
Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar
bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin
Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan
untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka
dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran
bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan
sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah
perjalanan menuju Mekah.
Betapa
sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia.
Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya
perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang
dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang
senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
D.
Rahmat Allah
Saudah
binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta
menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya.
Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan
kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan
memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap
merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain
kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek
moyang. Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya.
Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan
kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika
Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut
nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi
lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang
hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang
masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya
sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan
menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi
istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba
pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan
yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg
sebesar ini?
Rasulullah
mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita
besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah
orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia
benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia
menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zum’ah
bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah
setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad
datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan
perkawinan itu terlaksana dengan baik.
E. Berada di Rumah Rasulullah
Saudah
mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan
kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan
Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun
menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah
memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah,
sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar
dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai
istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya
dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan
umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk
menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan
hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa
bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan
keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah
melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada
dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia
telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian
turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar
yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna
wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya
menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah
melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas,
sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela
dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada
di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar
Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya,
sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
F. Hijrahnya ke Madinah
Pertama
kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga.
Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya,
termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju
Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya,
sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at
setia kepada Rasulullah.
Setelah
masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di
samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal,
hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung
sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah
selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi
putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu
kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga
kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar
mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian
beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
G. Sikap Hidupnya
Sejarah
banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya
senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu
menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah.
Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati.
Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui
pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya,
kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan
tertawa. Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk
berkumpul bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, karena dia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah,
wanita yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama
Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan
malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan
Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah
ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku
ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku
untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan
kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya.
Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah
tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah
menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat
berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan
Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah
mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang,
Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang
Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai
pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami
Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan
kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak
rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah
pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah
menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap
rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan
cemburu.
Saudah
menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan
ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah
haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. sakit keras. Beliau meminta
persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika
Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu
Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal
sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan
keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan
yang mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena
dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada
masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah
hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada
tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia
meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih mendekari kebenaran adalah
pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
H. Sifat dan Keutamaannya
Hal
istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam
menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman
lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri.
Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus
ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus
meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat
mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima
takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang
masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di
tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun
bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia
rata-rata. Di dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap
istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah
pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat
dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika
Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan
yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter
seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zum’ah dan
semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Tambahan kisah lainnya:
Dia
adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi
wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum
menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah
dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian
berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika
Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan
meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan
menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan
Ramadhan.
Saudah
adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya,
sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi
malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungmu
dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka
tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika
Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak
mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih
menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan
menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari
giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari
seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal.
Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang
wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320
dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah
berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum
berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan,
sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang
yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah
berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin
sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan
gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. (
Shahih Muslim 2/1085).
Di
antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada
Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian
setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya
dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah
berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam
untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar
sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu
umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa
mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali
dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu
Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah
Saudah seraya berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar
untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan
itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi
kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan
Muslim).
Saudah
terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah
berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra
8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah
termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjaga
dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad,
Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah
meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum
dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya
dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Sumber : Sirah nabawiyah Ibnu Hisyam, Siyar a’lamin Nubala oleh
Adz-Dzahabi, Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar, Al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil barr,
Thabaqah Qubra oleh ibnu Sa’ad
Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)
Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?
Allah
tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar
penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau
rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang
berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih
utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi
orang yang beriman.
Keistimewaan
Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai
putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap
dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
A.
Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu
Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu
‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin
Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah
binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat
Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal
memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan
sangat cantik.
B.
Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika
usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya,
dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang
teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi,
serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah
menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya
yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan
untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.
Sementara
itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru,
yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya.
Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya
memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam
bersamanya.
Mendengar
misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang
terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk
berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya,
Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan
berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus
mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah
tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah
lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama
Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama
mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat
dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal
mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di
Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke
Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang
musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa
tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan
cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum
habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum
muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit
demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu
Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah
menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah,
keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu
Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani,
dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama
Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu
baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat,
namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman
keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah,
Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke
Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri
dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk
keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam
Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa
terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya.
Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya,
Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan
seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara
keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung
dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita
yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
C.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang
berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau
Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan
Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk
dan berniat menikahinya.
Ummu
Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam
tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan
Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan
menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis.
Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia
adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi
harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu,
‘Rasulullah mengirimku surat
agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar
gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk
seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash
sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang
ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku
karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna
Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita
pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu
Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di
antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
D.
Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
Rasululullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan
membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri
mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang
Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka
mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar.
Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah
kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka
cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke
dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar
yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya.
Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat
dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan
hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan
konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada
riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa
cemburu.
E.
Posisi yang Sulit
Telah
kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara
istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika
Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika
harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang
Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah
bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah
terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal
itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan
dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum
muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani
Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum
muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal
dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan
Rasulullah.
Sesampainya
di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih
dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk
kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada
di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah.
Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu
Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak
berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat
itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu
Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata,
“Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau
rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk
Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka
engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan
pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk
menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah
menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim
menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat
hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah
mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan
tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan
ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas
sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat
kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan
menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah,
meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas
kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat
suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau
menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat.
Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang
siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah
menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik
untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
F.
Akhir sebuah Perjalanan
Setelah
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di
rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak
berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki
posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat
sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat.
Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah
bersabda,
“Barang
siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan
membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku
tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu
‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu
Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya
dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah
memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh
berkah. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Zainab binti Jahsy radhiallaahu ‘anha
Pernikahan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan
pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti
Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab
adalah anak perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib.
Beliau sangat mencintai Zainab.
Nasab
dan Masa Pertumbuhannya
Nama
lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin
Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah
dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah
menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah
binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di
Mekah dua puluh tahun sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia
tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang
cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika
orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab
termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati
ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama
keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Pernikahannya
dengan Zaid bin Haritsah
Terdapat
beberapa ayat A1-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan
pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah
adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin
menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga
Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah
dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin
Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Ayah
Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa
Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara
tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata,
“Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang
engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah
itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak.
Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari
kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia
rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah
bersabda tentang Zaid,
“Orang
yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah
telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah
memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah,
beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak
peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk
untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata,
“Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan
perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia
tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.”
Masih
banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam.. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid
bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya,
begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin
seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah
menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau,
sehingga turunlah ayat kepada mereka:
“Dan
tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Akhirnya
Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya
Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali
dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun
bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri
dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan
tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid,
Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid
menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid
pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan
menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar
itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada
Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah
Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan
bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun
tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak.
Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.
Prinsip
dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy
adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman
jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama
dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat
Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman,
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan
maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab:5)
Karena
itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan
orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab
setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak
Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian
dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah
tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan
peringatan sekali lagi dalam ayat:
“Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah
terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam
hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat
di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan
anak angkat.
Menjadi
Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang
perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita
tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga
Madinah.
Zainab
mulai memasuki rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah
satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak
perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri
lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan
kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang
munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah
bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah
ayat yang berbunyi,
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab
berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku
utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di
antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril
yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan
kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai
Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat
pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur
bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang
menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.
Zainab
bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan
sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab
binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau,
yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab,
dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan
bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku,
tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah
satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari
sisi yang lain.” Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan
Allah.
Tentang
Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku
dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang
lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah,
perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling
banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat
bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang
memiliki tabiat yang keras.”
Semoga
Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat
dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Hafsah Binti Umar (wafat 45 H)
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika
kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang
besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali
menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma,
hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab
dan Masa Petumbuhannya
Nama
lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin
Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku
Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah,
saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat
terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan
Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh
karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu
Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau.
Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin
Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang
dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar
berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran
anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu
Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu
Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah
itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata,
“Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya,
dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy
membangun Ka’bah, lima
tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah
Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin Khaththab.
Dalarn soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan
ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya.
Kelebihan lain yang dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan
menulis, padahal ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh
kaurn perempuan.
Memeluk
Islam
Hafshah
tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika
awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh
utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika
suatu waktu Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan
suarninya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya
di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun
dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut.
Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya.
Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat
darah mengucur dari dahi adiknya, kernudian diarnbilnyalah Al Qur’an yang ada
pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar
mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi
. yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada
Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau
lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah
kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan
keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai
menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga
beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin
Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam.
Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah
yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.
Menikah
dan Hijrah ke Madinah
Keislaman
Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam
menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para
muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah
sekian larna ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang
pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai
Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia
hijrah ke Habasyah untuk rnenyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah,
dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar
untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan
antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat
berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.
Ketika
Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah .
menernukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah
beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka
sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam
hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.
Cobaan
dan Ganjaran
Setelah
kaum muslirnin berada di Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan mereka
dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang
musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah
Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan
pertarna antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam
peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-Nya yang
ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang
anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya
dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati
luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid
dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah
menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah
telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar
sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda,
sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang
muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu
Bakar dan merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar
diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan
meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman
masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru
meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya,
Uman sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya.
Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua
sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan
menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman
pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula
Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya,
dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar
merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan
kegernbiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk
mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud
menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah
rnenyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau
kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi
Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya.
Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia
bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung
dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki
dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih
dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena
Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah
as-Sahami.
Berada
di Rumah Rasulullah
Di
rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti
Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah
karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah
sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang
terhormat.
Umar
memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun
rnengetahui bahwa orang yang rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan
menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha
terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha
dekat dengan Aisyah dan mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah
rnenjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi
perselisihan. Akan tetapi, mcmang sangat manusiawi jika di antara mereka rnasih
saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang
dada Rasulullab . mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara
istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat
Mariyah al-Qibtiyah datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada
jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang
ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya
tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian
itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha
membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah rnengharamkan
Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi
meminta agar Hafshah rnerahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan
hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah,
karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti
Khadijah r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah
memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui
oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa
setelah kejadian tersebut, Rasulullah . menceraikan Hafshah, namun beberapa
saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar,
sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud
menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud
memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia
adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah
sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali
perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah .
Umar
bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah
Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin
Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah . pada tempat terpenting yang harus
dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang
keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya.
Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang
tersebar.
“Hai
Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,-
kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan
diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada
salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala
(Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan
hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan
rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad)
memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya,
‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah
diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika
kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula)
Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat
adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan
memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang
patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang
berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)
Cobaan
Besar
Hafshah
senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu
menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau
bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah .
pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah
sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri
Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara
mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan
mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau
dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka.
Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri
beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan
mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah
berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian
menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan
memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika
kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik
di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah
. menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut
khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah
kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah
menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar
bin Khaththab, sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis.
Urnar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak
Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu
sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi,
aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan
menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari
Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah
beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar
mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang rnenyendiri. Sekarang
ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya
kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang
ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi
penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di
sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri
beliau. Dan memang benar, Rasulullah . tidak akan menceraikan istri-istri
beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada
kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah . tidak
menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut,
dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah
genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka.
Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan
penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri
Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh
hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak
ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah
Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Urnar, dia
mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun
barat.
Hafshah
merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia
hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar
antar muslirnin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa
pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada
pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah
sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan
orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena
saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak
keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang
wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada
tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik
Mushaf yang Pertama
Karya
besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1-Qur’an di tangannya setelah
mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi . yang pandai
membaca dan menulis. Pada masa Rasul, A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan
dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau
lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada
masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam
peperangan Riddah (peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu
mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan
Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada
zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu
bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus
menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah
hingga dia meninggal.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Mariyah al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M)
Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh
Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu
dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim.
Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal
pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti
halnya Sayyidah
Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian
beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana
beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun
memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri
Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah
Khadijah.
Dari
Mesir ke Yastrib
Tentang
nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya
adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang
dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah
penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya,
Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah
mengirim surat
kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam.
Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak
memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama
Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di
tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus
rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan
Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun
menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah
teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya
Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah
untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang
cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin
Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Ibrahim
bin Muhammad .
Allah
menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah
Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah,
terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal
dunia.
Mariyah
mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri
Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung
dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan
sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah
melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi
mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau
memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra
Rasulullah . dengan gembira.
Akan
tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu
perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin
tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah . dengan
Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan
Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas
diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)
Aisyah
mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada
wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat
tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di
rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan
tetapi, beliau sering kali di sana
siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya
ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih
menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata,
“Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa
orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak
hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan
kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran
untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus.
Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada
usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan
kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu
malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi .
bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam
keadaan sekarat, Rasulullah . bersabda, “Kami
tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa
beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia,
beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya mi bukan penintah yang haq, janji
yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami
akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih,
wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan
mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah
keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam
kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi
contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah .
mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat
Wafatnya
Setelah
Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk
beribadah kepada Allah. Dia wafat lima
tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah
Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah
menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H)
Nama dan
Nasabnya
Nama lengkapnya
adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab
bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari keturunan
Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah.
Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa
kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Ayahnya adalah seorang
pemimpin Bani Nadhir.
Sejak kecil dia
menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya.
Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah
Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah
kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran
ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas
tertulis di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang
sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu
muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak
peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay
terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji
untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan
perjanjian tidak rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan
tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan
tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya
terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum
Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa
agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka
lebih baik daripada tuhan Muhammad.
Masa
Pernikahannya
Sayyidah Shauiyyah
bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelurn dengan Rasulullah. Suami
pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah,
namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah
bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang
diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Penaklukan
Khaibar dan Penawanannya
Perang Khandaq
telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah
mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya
kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan
menyerang kaum muslimin.
Setelah perjanjian
Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. merencanakan penyerangan terhadap kaum
Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam. memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng
terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa
hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng
mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang,
dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu
terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa
Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Di
sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang
dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika
mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam. memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian beliau bersabda
kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal,
sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami
mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. rnemilih Shafiyyah sebagai
istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan kemudian
diterirnanya.
Seperti telah
dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau.
Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Anas r a. berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah
binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang
diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku
masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu
ketika aku sudah merneluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa
percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang
jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu
dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui
takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga
berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya,
“Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan
muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu
kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja
yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Menjadi
Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar
perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa
landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika
beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau
tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih
untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi
yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena
kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap
istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan
Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga
karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak
tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang
Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara
unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan
Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab
menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya,
beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau
tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus
asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang
aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan
Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul dirinya.
Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua
lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam
hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah
berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya
dan berkata, ‘Mengapa cngkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar
mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada
di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah
engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti
cinta Hafshah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad
dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau
wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau
derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu
sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan
terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata
kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah
wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka
selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap
Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ketika
terjadi fitnah besar atas kematian Utsrnan bin Affan, dia berada di barisan
Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada
masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya,
kemudian menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang
dan mulia di sisiNya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha
Ummu Salamah adalah seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendaparkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.
Nama
sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan narna Ummu
Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya
bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal
sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir)
karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia
adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah
bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah
al-Kananiyah yang berasal dari Bani Faras.
Demikianlah,
Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani.
Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya
telah tertanam sejak kecil.
B. Pernikahan dan Perjuangannya
Banyak
pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya
adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum,
seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang
gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari
Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka
diliputi kerukunan dan kesejahteraan.
Tidak
lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk
Islam dan menjadi orang-oramg pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan
Hindun, dia tergolong orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama
suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.
Orang-orang
Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan
agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti
itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengizinkan mereka untuk hijrah ke
Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka
menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab,
Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah
beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar
keislaman dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin
Abdul-Muththalib. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung,
bahkan bertambah dahsyat. Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu
Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya,
yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya.
C.
Cobaan Datang
Karena
orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka
hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan
kaum muslimin untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perseorangan.
Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan
mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian
merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut
campur tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas
dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan
dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan
karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan
demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus
menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang
laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul
suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah,
kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat
keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di
Madinah.
D. Pesan Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam
membela Islam, peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam
berperang. Rasulullah menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil
Rasulullah di Madinah ketika beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil
Asyirah pada tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud.
Ketika dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan
nyaris meninggal, namun beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah
Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mencrima berita bahwa Bani
Asad hendak menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam
misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah
seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqash, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke
Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan
Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan
perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah karnbuh sehingga dia harus
beristirahat beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan
mendoakannya.
Ummu
Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga
dia merawat dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah
menghebat, kemudian Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat benita
bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk
surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah
lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si
istri yang meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk
itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan
aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.” Abu Salamah
berkata, “Maukah engkau menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun saya
bermusyawarah hanya untuk taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati,
maka menikahlah.” Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada
Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan
menyengsarakan dan menyakitinya.”
Pada
detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. selalu
berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada
Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang
menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang
mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya
Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku
sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali,
dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan
bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana
yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan
kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam
musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan
melaksanakannya untuknya.”
Setelah
itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdo’a: “Ya Allah, berilah
ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan
berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu
Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh
kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah
diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah
wafatnya Abu Salarnah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang
Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat
suaminya dan untuk. melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq
dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada
saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum
mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa
yang dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia
memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih
baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dan Abu Salamah, wahai
Rasulullah?”
E.
Di Rumah Rasulullah.
Rasulullah
mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar
dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang
untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam
keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu
Salarnah dengan maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah
diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima
pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan
semua orang di dunia.
Dengan
perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin,
dan oleh Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang
digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah
meninggal dunia.
Hal
itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., lalu aku dipindahkan dan
ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa
keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan
berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki
kedudukan yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., seperti
interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang
diliputi rasa kasih sayang dan kelemahlembutan.
F. Kedudukannya yang Agung
Di
antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair
“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruh Ummu Salamah melaksanakan
shalat shubuh di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu
merupakan hari (giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas
kesetujuannya.”
Begitu
juga hadits Ummi Kulsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam
(kitab) Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. menikahi Ummu Salamah, belau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku
menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan
selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal
dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena
dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikkü.”
Sebagaimana
yang dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., Raja Najasyi meninggal dunia,
dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada
setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi
(sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah
Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. memasukkannya
dalam kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah
bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan
anak perempuan Ummu Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak
perempuannya, Fathimah azZahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain r.a.,
lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya
tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia.”
Lalu
menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
menanyakan tentang penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah,
engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau
tinggalkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk
keluargaku.”
Anak
perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada
masanya.
Sebelum
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu
pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya
pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu
Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.
G.
Beberapa Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah.
Di
antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu
ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dalam perjalanannya menuju
Mekah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah
mereka untuk memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua
belah pihak.
Akan
tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa
orang-orang musyrik menyianyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara mayonitas
yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata kepada
Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita serahkan
nyawa di dalam agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menjawab,
“Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya,
dan Dia tidak akan menyianyiakanku.”
Akan
tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban
kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau
mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan.
Beliau
menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum
muslimin. Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan
perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian
janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau
menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan
sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat
Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan
menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain
tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang
mendahului mereka.
Ummu
Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. di banyak
peperangan, yaitu peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if,
peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita
tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Urnar datang
kepadanya dan mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta kekasaran mereka terhadap
Rasulullah. Maka ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau
telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. beserta istri-istrinya?”
Setelah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. meninggal dunia ia senantiasa mengenang
beliau dan sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak
melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits
yang berasal dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Telah
diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan
suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang
meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan
para pemuka dan sahabat serta ahli hadits.
Di
antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah.
Waktu itu Nabi keluar dari Madinah bersarna bala tentaranya dengan kehebatan
dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang
musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan rnaksud
menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk
dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harts bin Abdul-Muththalib (anak paman
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin
al-Mughirah (anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak).
Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam., beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan
mereka yang keras terhadap kaurn muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka
berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap
keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka
berdua adalah anak parnanmu dan anak bibirnu (dan ayah) serta iparmu.”
Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun
anak parnanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak
bibiku (dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia
katakan.”
Pernyataan
itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata,
“Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua
tanganku -pada saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian karni harus
berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu
Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya
hati beliau menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah
keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
H.
Sikapnya terhadap Fitnah
Ummu
Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah)
Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab..
Pada
masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan
kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah sernakin memuncak di langit
kaum muslirnin. Maka ia pergi menernui Utsman dan menasihatinya supaya tetap
berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta
petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk
tersebut selama-lamanya.
Apa
yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya
Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup
kencang terhadap kaurn muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad
untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
al-’Awwam dengan tujuan mernobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib.
Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari Ummu Salamah,
Istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya.”
Ummu
Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan
kaum muslimin atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu
Salamah mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalan barisan Ali
.
I. Saat Wafatnya
Pada
tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan
pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci
naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan
aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah r.a.
dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah. dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , Karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu,
Riyadh
Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 H)
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama
lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru
bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama
Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.
Berdasarkan
asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani.
Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang
rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum
memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang
miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa
Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin
Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut
disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi
Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya
sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan
sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan
bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya,
kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia
utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam
dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa
orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi
Allah.
Keislaman
dan Pernikahannya
Zainab
binti Khuzaimah. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari
kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang
baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari
perbuatan jahiliah.
Para
perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia
menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama
Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian
menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh
pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami
keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang
mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat
itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami
pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak
dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke
Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki
Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah
salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin
Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan
orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam
perang tersebut.
Setelah
Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga
Rasulullah . menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin
melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi
luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal
dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang
membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum
muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah
agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang
Mahsyar bersama orangorang miskin.
Meskipun
Nabi. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah,
tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh
Zainab binti Khuzaimah.
Menjadi
Ummul-Mukminin
Tidak
diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga
Nabi ., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah .
menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak
begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia
menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah
pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab
memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan
bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab
meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan
penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga
puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga
Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit
Darus-Sa’abu, Riyadh
Hidupnya bersama
RasuluLlah, hanya singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal dengan julukan
Ummul Masaakiin, karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal,
ketika Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendiri menshalati jenazahnya.
Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar