Aliran Khawarij


Selama dua puluh tiga tahun, dengan segala kharisma dan kehebatan yang dimilikinya, Nabi Muhammad mampu meredam dan merubah kefanatikan kabilah menjadi kefanatikan agama. Awalnya, masyarakat arab bangga dengan nama suku yang disandangnya, namun mereka merasa malu menggunakan gelar kesukuannya setelah Nabi merubah pandangan dunia (weltanschauung) dengan nuansa persatuan Islam (Ummah Wahidah). Seperti gelar kesukuan al-Tamimy, al-‘Ady, al-Zahry, di masa Nabi mereka merasa malu menggukannya dan bangga dengan sebutan al-Shiddiq, al-Faruq, al-Murtada.
Dalam rentetan skenario sejarah, Perang siffin [18/07/657 M.] menjadi puncak dari konflik panjang yang terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah yang sejak awal ingin merebut kekuasaan. Terlihat begitu kuat sukuisme yang sangat memengaruhi pola pemikiran saat itu. Lebih dari itu, perang siffin menjadi awal sejarah yang membidani munculnya beberapa sekte yang hadir dalam tubuh Islam.
Adalah gerakan radikal Khawarij, sekte pertama yang muncul dalam merespon pertikaian politik pada masa Ali bin Abi Thalib. Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari rentetan sejarah yang membentuk mainstream pola pikir Khawarij yang puritan. Dan hampir semua sekte yang tumbuh setelah Khawarij juga merupakan didikan zamannya. Karena kekerasan yang dianggap ampuh dalam mengoprasikan pola pikirnya, Khawarij mencatat sejarah buram dalam peradaban Islam.
Kini, Khawarij telah hangus terbakar oleh api sejarah. Namun pola gerakannya banyak menginspirasi gerakan-gerakan puritan hari ini. Adakah keterkaitan? Semoga tulisan ini mewakili atas jawaban dari pertanyaan tersebut. Amin.
Lahirnya Khawarij dalam islam tidak luput dari tekanan politik yang berkembang saat itu. Khawarij adalah kelompok Ali yang memiliki loyalitas tinggi terhadap Ali, dan pernah berperang bersama Ali saat melawan tentara Aisyah pada perang jamal, serta saling bahu membahu dalam menjalankan keperintahan Ali. Namun Loyalitas itu meredup dan bahkan mereka membuat kelompok sparatis melawan Ali sehingga membentuk sebuah organisasi politik yang berdampak pada hari ini.
A. Khawarij; Dari Gerakan Ke Pemikiran
Kaum Khawarij kebanyakan dari suku badui yang memiliki watak keras. Mereka adalah kaum imigran suku nomad yang berdatangan ke Irak untuk melancarkan aksi penaklukan yang pada akhirnya mendapat kemenangan dramatis. Nama Khawarij datang setelah gerakan ini muncul dipermukaan. Nomenklatur ini mengundang banyak perdebatan di antara pakar teolog muslim. Namun pada titik tertentu mereka sepakat pada sebuah definisi yang menyatakan bahwa Khawarij adalah kelompok yang tidak sepakat terhadap proses arbitrase (tahkim) yang dilakukan oleh Imam Ali serta mengkafirkan beberapa sahabat Nabi termasuk Ali, Usman, Mua’awiyah dan sahabat yang menerima arbitrase. Sebenarnya banyak istilah mengenai kelompok Khawarij yang tidak mungkin tertuang seluruhnya dalam makalah ini dan juga rentetan sejarah yang terlewati demi lebih memfokuskan pada aspek kajian pemikiran gerakan Khawarij.
Alasan yang berkembang dalam beberapa literatur terkait dengan hengkangnya kelompok ini dari barisan Ali adalah karena Ali menerima hukum manusia, sedangkan prinsip yang mereka pahami adalah hukum hanya dimiliki oleh Allah semata, dengan semboyannya “la hukma illa Allah”. Pada tataran ini, muncul beberapa pertanyaan teologis. Bagaimana hukum keputusan manusia? Bagaimana pelaku dosa besar? Namun kalau ditinjau lebih kritis persoalan terbentuknya gerakan Khawarij tidak hanya dibidani oleh pemikiran yang bernuansa teologis an sich, melainkan kaum Khawarij juga terprovokasi oleh dominasi kesukuan yang dikuasai oleh suku Quraish lebih dari dua puluh lima tahun. Lebih dari itu, kelompok Khawarij yang didominasi suku nomad tidak memiliki sikap mental politik yang baik. Mereka memiliki kecenderungan eksklusif, skriptualis dalam memahami agama, dan lebih mementingkan suku atau klannya sendiri. Barangkali terpengaruh oleh sifat kebaduihannya, kaum Khawarij juga memiliki fanatisme yang sangat ekstrim atas ajaran yang diyakini. Pemahaman teologi Khawarij ini, yang menganggap dirinya adalah pemegang otoritas kebenaran dan sekte diluar dirinya dianggap sebagai menyimpang dari ajaran agama sebenarnya, datang dalam kondisi politik dan sosial yang sangat labil.
Sekian lama melihat percaturan politik dalam tubuh islam semakin menampilkan wajah yang suram dari sejak terbunuhnya Umar hingga politisasi yang terjadi antara Ali dan Muawiyah memunculkan ide untuk membangun arus gerakan politik sendiri. Dengan terpilihnya Abdullah bin Wahab Al-Rashibi mengindikasikan gerakan Khawarij semakin terorganisir dengan baik.
Dua tahun setelah peristiwa arbitrase, Pada tahun 659 M., gerakan Khawarij muncul dengan kekuatan sebesar 4000 pasukan dibawah pimpinan Abdullah Ibnu Wahhab Al-Rashibi untuk menyerang kekuasaan Ali. Kemudian Ali membalas serangan tersebut di tepi kanal nahrawan dan hampir memusnahkan mereka. Walaupun pasukan Ali mampu memporakporandakan kelompok Khawarij, namun ideologinya telah memengaruhi banyak individu. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Muljam yang menghunus dahi Ali dengan pedang beracunnya saat ia dalam perjalanan menuju masjid kufah. Dalam beberapa riwayat, Saat membunuh Abdurrahman mengatakan “al-hukmu li Allah, la> laka ya> aly>, wala> li asha>bika” (yang memiliki otoritas hukum itu hanya Allah, bukan kamu dan sahabatmu).
Dari penjelasan di atas, ada sebagian pakar berpendapat bahwa sekte Khawarij adalah sekelompok politik yang membawa nama agama dalam sebuah pemerintahan. Tidak dapat disalahkan sepenuhnya bagi pendapat ini, sebab keberadaan Khawarij pada awalnya tidak berkaitan dengan masalah agama, apalagi teks keagamaan. Setelah terdapat ketegangan politik antara Ali dengan Mu’awiyyah, secara instan kelompok ini muncul di permukaan. Dengan kata lain, kemunculan mereka berangkat dari realitas politik, bukan dari teks keagamaan.
***                           
 Konsep Kepemimpinan Khawarij
Sebagai kelompok sparatis, Khawarij memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang berkembang saat itu, baik dalam kepemimpinan, pelaku dosa besar, dan pemahaman terhadap teks al-Quran. Kelompok ini melawan konsep yang telah pakem tentang kepemimpinan. Menurutnya, kepemimpinan dalam Islam tidak harus dari suku Quraisy, bahkan orang diluar suku Quraisy juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin. Selama seseorang berpredikat muslim yang adil, memiliki integritas, baik ilmu dan agamanya, dan mampu melaksanakan tanggung jawab sebagai pemimpin, berhak menjadi pemimpin. Bagi pemimpin Negara yang mencedarai jabatannya, kelompok ini menganggapnya telah keluar dari islam dan harus digulingkan atas nama reformasi. Khawarij seolah ingin melepas diri dari belenggu hegemoni kekuasaan Quraisy yang sejak lama berkembang, dari masa ke khalifahan Abu Bakar sampai pada akhir abad ke 4 H, dimana pada waktu itu al-Mawardi hidup. Dari sisi inilah Khawarij terlihat lebih demokratis dari kelompok Islam yang berkembang di zamannya—terlepas dari kedok tendensi pribadi mereka yang anti-pemerintah saat itu.
Khawarij, seperti sekte-sekte Islam yang muncul belakangan, menganggap perlu terhadap kepemimpinan dalam Islam. Hanya saja kepemimpinan dalam pandangan Khawarij adalah merupakan tangan panjang Tuhan yang harus menerapkan al-Quran dan al-Sunnah dalam sebuah negara. Mereka menolak segala tindakan yang bersumber hasil keputusan manusia. Atas dasar ini Khawarij keluar dari barisan Ali dalam pereang Siffin dan menghukumi Ali kafir karena telah keluar dari ajaran agama
****
Konsep Pelaku Dosa Besar (al-Kaba>i>r) dan Pengkafiran (Takfi>r)
Iman adalah hal mendasar dalam agama Islam yang secara definitif diartikan dengan sebuah pengakuan seseorang terhadap Allah sebagai Tuhan secara verbal yang disertai oleh kemantapan hati serta melaksanakan perintahnya sebagai konsekwensi dari pengakuan tersebut. Iman adalah dasar dari segala bentuk perilaku seorang muslim dalam menjalankan agama. Bahkan sebagian pendapat mengatakan perbuatan baik yang tidak didasari oleh iman kepada Allah adalah sia-sia. Begitu juga sebaliknya, beriman kepada Allah namun tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi konsekwensi dari iman tersebut adalah Fasiq, bahkan kafir dalam pandangan Khawarij.
Dalam pandangan Khawarij, amal perbuatan manusia merupakan bagian dari iman. Dari pandangan ini dapat dipahami juga bahwa seorang muslim yang meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan Allah, maka ia telah meninggalkan imannya. Iman—masih dalam pandangan Khawarij—tidak bisa dipisahkan dari perbuatan seorang muslim. Seseorang dalam keadaan mukmin ketika tindakannya tidak dipengaruhi oleh perbuatan kufur, munafik, dan perbuatan jahiliyah. Begitu juga seorang muslim, ia bisa jadi dikatakan kafir dan mushrik saat dalam dirinya tidak ada lagi iman yang tercermin dalam perbuatannya.
Pendapat Khawarij tentang eksistensi iman ini memeroleh beberapa kritik dari sekte-sekte islam setelahnya. Seperti sekte Murji’ah yang menegasikan iman terhadap keislaman seseorang, sebab iman menurutnya ada dihati, dan tidak memengaruhi terhadap perbuatan dosa seorang muslim. Sementara sekte yang lebih moderat, yang mampu mengombinasikan beberapa pendapat sekte sebelumnya dengan baik, adalah al-Ash’ary (w. 330 H.).
Pandangan Khawarij di atas menjadi tolak ukur untuk mengkafirkan paham keagamaan di luar kelompoknya. Setidaknya ada dua alasan pengkafiran tersebut. Pertama, karena Khawarij menganggap seorang muslim telah kafir apabila telah melakukan dosa besar, atau dosa kecil yang berturut-turut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, pemahamannya terhadap ayat yang berbunyi:Waman Lam Yahkum Bima> Anzala Alla>h Faula>ika Hum Al-Kafiru>n (barang siapa yang tidak melaksanakan hukum Allah, maka kafir). Khawarij berpendapat setiap kelompok yang berbeda dengannya telah menyalahi hukum Allah, mereka yakin kelompoknya adalah kelompok yang paling benar.
*****

Konsepsi Khawarij Menyikapi Teks keagamaan
al-Qur’an dalam menyampaikan pesan ketuhanan kepada manusia tidak jarang menggunakan bahasa general-metaforis, yang dibutuhkan beberapa penafsiran untuk memahaminya—meskipun tidak semuanya. Di samping itu, Teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari ruang waktu dan sosio-Historis yang melingkupinya (Asba>b al-Nuzu>l). Oleh karenanya, Perbedaan para penafsir al-Qur’an dari abad ke 2 H sampai hari ini dalam melakukan interpretasi terhadap al-Qur’an adalah merupakan bukti konkrit bahwa al-Quran memiliki multi penafsiran yang tetap aktual dalam setiap zaman (S}a>lih Likulli Maka>n Wa Zama>n).
Penafsiran dengan mempertimbangkan teks kebahasaan dan konteks saat al-Quran turun tidak diterima oleh kelompok Khawarij sebagai sekte yang—meminjam bahasanya Nasr Hamid—menuhankan teks. al-Qur’an dan sunnah harus dipahami sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna dibalik sebuah teks (magza>). Dalam pandangannya, menafsirkan teks al-Quran dan hadis dianggap sebagai keinginan hawa nafsu. Selain menganggap bahwa makna literal al-Qur’an sebagai nilai-nilai agama yang sebenarnya, kelompok ini juga menutup pemikiran di luar kelompoknya.
*****
Pengaruh Teologi Khawarij; Wacana Neo-Khawarij
Secara struktural, memang tidak ada hubungannya antara Khawarij dengan gerakan islam puritan yang telah menjamur di dunia islam. Gerakan islam puritan bahkan menolak dirinya dianggap sebagai propaganda dari golongan Khawarij. Islam puritan, seperti Wahhabi dan kelompok puritan lain, lebih suka dirinya disebut sebagai kelompok salafi yang pernah ada pada masa lalu islam. Semangat ingin mengembalikan era keemasaan seperti pada masa sahabat, pengikut sahabat, dan generasi yang shalih (Salafuna> Al-Sa>lih) menjadi orientasi hampir setiap gerakan islam puritan.
Gerakan Wahhabi, aliran puritan yang menjadi contoh dalam kajian ini, adalah gerakan yang didirikan oleh seorang fanatik abad ke 18, yaitu Muhammad bin Abd al-Wahab (w. 1792 M.). Gagasan utama Abd al-Wahhab adalah bahwa umat islam telah melakukan kesalahan dengan menyipang dari jalan islam yang benar, dan hanya kembali kepada agama yang benar akan diterima oleh Allah. Semangat puritan inilah yang menjadi dasar ajaran wahhabi untuk membersihkan islam dari faktor-faktor di luar islam.
Pada masa abd al-Wahhab hidup, modernitas telah merebah ke dunia islam yang memperkenalkan relativitas dan subjektivitas semua pengetahuan manusia yang pada puncaknya modernitas menambah kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat tradisional berjuang dan berusaha untuk mengimbangi menjadi masyarakat modern dan berkembang. Pada tataran ini, masyarakat islam berbeda-beda dalam merepon modernitas, sebagian kelompok menyelaraskan ajaran islam dengan modernitas sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh (w. 1905 M.), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M.) dan para tokoh pembaharuan abad ke-19. Sebagian yang lain merespon dengan keras menolak modernitas sebagaimana Abd al-Wahhab.
Menurut Wahhabi, masyarakat muslim harus kembali kepada ajaran fundamental islam dengan mengimplementasikan perintah dan sunnah Nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati ritual yang benar. Wahhabi menyikapi teks-teks keagamaan sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model yang sebenarnya dari Negara kota madinah yang telah dibangun oleh Nabi. Jika masyarakat muslim mengembalikan segala persoalan kepada al-Qur’an, umat islam tidak akan mengalami keterbelakangan kolektif.
Disamping sikap literalis, Wahhabi cenderung menolak praktik mazhab hukum yang sudah lama terbangun dan berlangsung dalam dunia islam. Mereka menganggap bahwa menerima keberagaman pendapat yang sama-sama dianggap sebagai pendapat yang legal dan benar merupakan awal dari perpecahan umat islam. Tidak heran jika kaum Wahhabi mengumbar ungkapan teroris para ahli hukum terkemuka yang dinilainya bid’ah. Selain itu, kaum Wahhabi menganggap bid’ah segala bentuk yang tidak pernah ada pada masa rasul, terlebih sesuatu yang datang dari barat walaupun pada hakikatnya baik dan tidak menyalahi prinsip agama. Hubungan harmonis antara agama dan Negara, terutama terbentuknya lembaga atau institusi yang berlabelkan islam seperti ilusi Negara islam dan formalsasi syariat, menjadi agenda besar dari gerakan wahhabi.
Ada beberapa karakter yang dapat terlihat dari beberapa patform yang menjadi ciri bagi gerakan wahhabi, bahkan kelompok islam puritan diluar wahhabi. Pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks keagamaa. Menolak pemahaman kontekstual atas teks agama. Sebab, pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralism dan relativisme, karena dianggap sebagai pemahaman yang telah mendistorsi agama. Ketiga, monopoli kebenaran atas teks agama. Islam puritan menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas kebenaran, dan kelompok di luarnya dianggap telah melakukan penyelewengan dalam agama. Keempat, mereka membangun semua ajaran itu dengan penuh sikap fanatisme, eksklusifisme, intoleran, dan militanisme. Bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya menjadi ciri khas dari aksi dan tindakan mereka.
Gerekan islam puritan lambat laun semakin membuat getir masyarakat islam. Nama-nama seperti Shalih Saraya (diekskusi pada 1975), Syukri Musthafa (diekskusi pada 1978), dan Muhammad Abd Salam Faraj (diekskusi pada 1982) menjadi momok bagi masyarakat mesir saat mereka mengumbar teror terhadap pelaku bid’ah. Dalam hal ini, Anwar Sadad (w. 1981) yang menjadi korban ideologi mereka yang dianggap telah melakukan praktik bid’ah. Terutama Faraj yang menjadi otak dari pembunuhan tersebut. Risalah Faraj yang berjudul “al-Faridah al-Ghaybah” menyerukan digelarnya operasi militer secara inten terhadap penguasa seluruh Negara muslim yang melakukan bid’ah.
Wacana neo-Khawarij yang secara implisit ditujukan kepada islam puritan menjadi bahan perbincangan para tokoh agama sejak tragedi 11 september 2001. Walaupun sacara struktural tidak ada pernyataan yang ekplisit atau matarantai yang jelas antara islam puritan dan Khawarij, kemiripan praktik dan tindakan kedua gerakan tersebut menjadi isu yang dikait-kaitkan oleh beberapa kalangan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa pemikiran atau gerakan sekte-sekte islam merupakan didikan zamannya. Mereka lahir dalam segala aspek yang melingkupinya, sosio-historis, politik, dan budaya yang relatif akan berubah sesuai dengan akslerasi kehidupan manusia. Sebagai ilustrasi, seseorang mungkin akan menganggap haram mengunjungi makam jika budaya yang berkembang saat itu adalah pengkultusan (baca: penghambaan) terhadap makam. Namun, jika pandangan dunia (word view) tersebut telah berubah, tentu asumsi yang muncul tidak seperti itu. Ini juga mungkin yang diistilahkan oleh Foucault dengan The Discountinuity of History sebagai cara pandang dalam menganalisis sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar